RSS
Welcome to my blog, hope you enjoy reading :)

Sunday, May 23, 2010

Menggapai impian di tengah kota metropolitan



Pada Tanggal 8 februari saya merasa sangat senang sekali bagaikan burung yang terbang bebas di udara. Tadi pagi saya bersama dengan teman-teman diajak pergi ke Keuskupan Agung Jakarta dan Wisma Purihita Klender, untuk mengenal keuskupan dan tempat tinggal serta aktivitas kehidupan di Tahun Orientasi Rohani (TOR) dioses Jakarta. Saya merasa bahagia karena dapat mengetahui itu semua, dan bagi saya semua ini terjadi karena adanya keterbukaan untuk saling mengenal.
Dari peristiwa itu, banyak hal-hal atau buah-buah rohani yang bisa saya petik, salah satunya adalah keterbukaan. Sebagai seorang calon imam saya sadar sepenuhnya bahwa sifat yang harus ada dalam sosok seorang imam itu salah satunya keterbukaan. Dalam kehidupan, kita sebagai makhluk sosial yang berarti tidak dapat hidup sendiri didalam suatu komunitas atau masyarakat.
Dengan demikian keterbukaan itu penting agar kita dapat menjalin relasi dan juga menumbuhkan kehidupan yang harmonis, sehingga hidup ini akan menjadi berwarna dan kita dapat saling mengerti satu dengan yang lain, seperti halnya Bunda Teresa yang melihat kehadiran Allah lewat orang yang kehausan atau membutuhkan air disebuah stasiun kereta api itu. Hal itu saya rasa ia dapatkan karena ia dapat mengerti apa yang ada disekitarnya dan lingkungannya sehingga ia dapat memperhatikan, memberikan kasih sayang, dan menolong serta memberikan kebahagiaan bagi orang-orang yang ada disekitarnya.
Oleh sebab itu saya merasa keterbukaan itu sangat penting untuk saya tanamkan dalam diri saya pribadi serta saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari, karena dalam kehidupan saya tidak bisa berbuat apa-apa tanpa bantuan dari orang lain araupun orang-orang yang berada disekitar saya.
Sebagai contoh saya tidak dapat menjalani pangilan ini tanpa dukungan dari keluarga, bagi saya semua yang ada dalam kehidupan saya hampir secara keseluruhan membutuhkan bantuan orang lain, walaupun ada saatnya saya harus menyelesaikannya sendiri, akan tetapi seringkali saya menanyakan bantuan lewat teman dekat berupa saran maupun solusi yang baik untuk saya kedepannya. Untuk itu agar semuanya dapat tergapai serta relasi saya dengan orang-orang disekitar saya dapat baik maka saya seharusnya mulai terbuka dan tetap menjaga nama baik keluarga, diri sendiri dan hal-hal yang seharusnya tidak dipublikasikan sehingga akan terjadi dan terjalin sebuah kehidupan yang harmonis didalam lingkungan masyarakat ini.

Hari ini 9 Februari 2010 lagi-lagi aku mendapatkan hal baru lewat aktivitas di wisma cempaka putih ini. Memang kemarin adalah hari yang indah, akan tetapi hari inipun tidak kalah indah dari hari kemarin. Mentari bersinar cerah, awan putih menghiasi langit, serta udara sejuk dipagi hari. Saya bersama teman-teman, hari ini mengenal salah satu paroki yang ada di Keuskupan Agung Jakarta, yaitu St. Ykobus-Kelapa Gading bersama dengan kedua stasinya yaitu Kim Tai Gon dan Pegangsaan.
Kemudian saat malam hari saya menonton film yang berjudul “Love So Difine”. Film itu bagi saya sangat menarik dan memberikan gambaran serta pencerahan baru terhadap saya. didalam film tersebut dikisahkan seorang calon imam yang melakukan kesalahan yaitu menjatuhkan sibori sehingga hosti didalamnya tumpah dan berantakan.
Oleh sebab itu ia dihukum untuk melakukan tugas besar yaitu menjadikan keponakan imam kepalanya menjadi khatolik atau dibaptis. Hal itu merupakan syarat agar ia ditahbiskan nantinya. Ia harus mengikuti semua kemauan dari wanita itu agar wanita itu mau diajak untuk menjadi khatolik dan agar ia bisa ditahbiskan menjadi seorang imam.
Akan tetapi semua hal yang ia lakukan seakan-akan percuma, karena ketika wanita itu akan dibaptis dan ia akan mendapatkan pesta pentahbisan diakon perempuan itu emutuskan untuk kembali lagi ke amerika bersama mantan kekasihnya. Pada akhir cerita masih belum jelas apakah ia keluar dari imamat atau tidak, yang jelas ia terlanjur mencintai wanita itu.
Dari film tersebut sudah terlihat jelas bahwa imamt itu adalah sakramen yang luhur dan bukan tempat untuk coba-coba. Keputusan dalam mengambil sebuah sakramen imamat adalah keputusan yang harus dipirkan benar-benar. Seperti kata Yesus bahwa siapapun yang hendak mengikuti-Nya, maka orant tersebut harus berani meninggalkan semua kepemilikkannya dan juga keluarganya, karena untuk menjadi seorang penjala manusia bukannlah hal yang mudah seperti membalikkan telapak tangan.
Oleh sebab itu setelah menonton film tersebut, saya merasa sebagai calon imam hendaklah saya harus memikirkan matang-matang dan merefleksikan kehidupan saya setiap hari, apakah saya cocok jadi imam? Itulah pertanyaan yang paling dalam untuk direfleksikan, karena bagi saya panggilan itu tidak hanya ditanggapi, akan tetapi direfleksikan, dimaknai, dan juga dihayati.

Pada Tanggal 10 februari 2010 kembali saya mendapatkan hal baru. Kali ini saya dari pagi hari sampai malam hari kurang lebih saya berada di luar wisma cempaka putih dan saya seperti melihat kehidupan dari pagi sampai malam orang-orang atau masyarakat Jakarta ini. Pada pagi hari saya bersama teman-teman yang live-in bersama di wisma cempaka ini pergi berenang bersama Fr. Malloe, kemudian setelah itu saya bersama dengan kakak saya Fr. Enga dan juga Ando ingin membeli sandal untuk naik gunung jadi saya pergi ke terminal rawa mangun, kemudian saat sore hari saya bersama dengan teman-teman dan para frater-frater diosesan pergi ke Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, dan saat malam hari merupakan pengalaman puncak bagi saya karena saya bersama teman-teman dengan Fr. Pramono, Fr. Malloe, dan Fr. Bayu Gollo pergi ke sebuah warung angkringan masih didaerah cempaka putih ini. Ini merupakan acara sering dari frater diosesan yang menduduki tingkat teologi.
Banyak hal yang telah kami bicarakan disana, salah satunya adalah beratnya kehidupan dan masyarakat Jakarta yang harus membanting tulang dan memikirkan masa depan di kota metropolitan ini. Fr. Pramono banyak menceritakan pengalamannya selama menjadi seorang frater di Jakarta ini terutama saat tahun Orientasi Pastoralnya yaitu di paroki pantai Indah kapuk-Regina Caeli. “Keras” itulah gambaran dari kehidupan masyarakat dan umat pantai indah kapuk. Ekonomi mayarakatnya rata-rata menengah keatas, dan kesibukkan pasti menyelimuti banyak umat disana sehingga besar kemungkinan yang akan terjad jika hubungan mereka dengan Tuhan menjadi agak jauh.
Bagi saya sebagai seorang seminaris menanggapi hal tersebut merupakan hal yang biasa terjadi didalam paroki-paroki yang ada di Keuskupan Agung Jakarta ini. Bukan hal yang beda jika umat-umat Jakarta sibuk akan pekerjaan dan melupakan Tuhan. Sungguh keprihatinan yang besar didalam gereja dan paroki yang ada dijakarta ini, dan ini juga yang merupakan mengapa sayapun tertarik untuk masuk kedalam diosesan Jakarta, dan ingin menjadi imam diosesan Jakarta, karena bagi saya tak perlulah saya pergi keliling dunia atau keluar keuskupan sementara kehidupan didalam keuskupan saya sendiripun masih berantakan dan belum teratur. Imam diosesan Jakarta sangat kurang jika dibandingkan dengan paroki dan umat yang ada, tidak selamanya keuskupan Agung Jakarta meminta bantuan terhadap tarekat lain. Oleh sebab itu melihat keprihatinan ini saya merasa bahwa panggilan dijakarta sangat kering dan saya sadar bahwa Jakarta membutuhkan saya, untuk itu saya siap menjadi gembala baik di Jakarta dan juga menerobos sisi gelap Jakarta dan juga siap untuk menjalani tugas dan menanggapi panggilan Tuhan untuk menjadi imam diosesan Jakarta. Maka dari itu kini saya mencoba menggapai impian bersama tuhan ditengah kota metro politan ini.

Pada Tanggal 11 Februari saya mendapatkan hal baru lagi didalam live-in ini. saya mendapatkan hal itu setelah pengalaman saya hari ini ketika doa lintas angkatan, dimana saya diminta untuk mensharingkan pengalaman saya selama live-in disini, dan juga para frater yang telah mensharingkan dan bercerita selama menjalani hidup sebagai seorang frater dan calon imam diosesan Jakarta. Bagi saya dari sharing tersebut banyak hal yang telah saya dapatkan dan bisa saya refleksikan untuk kedepannya. Didalam sharing tersebut hal yang paling menarik bagi saya ketika membahas dimana Fr. Admojo ditawarkan oleh seorang temannya sebuah Hand Phone, akan tetapi ia menolaknya karena ia merasa bahwa itu merupakan hal yang tidak sedang dibutuhkan saat-saat ini.
Dari pengalaman ini saya yakin bahwa segala pandangan dari banyak orang tentang imam diosesan yang sering terdengar dan terucap dari beberapa orang yang merupakan umat Jakarta sendiri bahwa imam diosesan sering disebut seorang imam yang bisa jadi “kaya”. Bagi saya itu merupakan sebuah pandangan. Memang tidak semua pandangan itu benar, akan tetapi tidak bisa dipersalahkan, hanya pandangan tersebut biasanya tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh orang yang memberikan pandangan itu sendiri. saya melihat dari sosok seorang Fr. Graha yang mengatakan bahwa memang benar imam diosesan itu bisa jadi kaya kalau mereka mau, akan tetapi mereka tidak butuh itu, karena tidak ada gunanya.
Sangat menarik bagi saya hal ini untuk direfleksikan dan saya hayati. Kehidupan Jakarta ini sangat keras, segala sesuatu bisa dihalalkan demi tercapai sebuah keinginan seseorang. Itulah titik beratnya Keuskupan Agung Jakarta ini karena berada disebuah kota metropolitan dimana banyak orang berjuang demi mendapatkan suatu kehormatan, dan disitulah peren para imam diosesan dan imam-iamam lainnya yang berkarya dijakarta ini untuk meluruskan jalan para umat Jakarta agar tetap berpegang teguh pada Tuhan. Saya merasa didalam keuskupan ini kehidupan para umatnya sangat keras karena bentrok dengan kesibukan yang menimpa dan melanda para umat untuk menghidupkan keluarga.
Tantangan besar bagi saya untuk kerja dijakarta, dimana umat yang sudah mengenal kemajuan technologi dan mengenyam pendidikan yang tinggi harus diarahkan untuk tetap setia kepada Tuhan. Berat menjalani panggilan di Jakarta ini karena bertebar cukup banyak bermacam-macam rintangan, cobaan, dan godaan. Tidak seperti para misionaris yang setidaknya hanya membutuhkan pendekatan dan mengenal adat-istiadat daerah terpencil tersebut, di Jakarta seorang imamnya harus lebih pintar dalam pendidikan baik liturgy maupun pengetahuan umumnya. Pengenalan situasipun juga dibutuhkan, oleh sebab itu saya mereasa bahwa tantangan terberat berada dikota metro politan ini Keuskupan Agung Jakarta, dan jika Tuhan mengijinkan, saya siap untuk menjadi salah satu gembala di Jakarta ini.

Pada tanggal 12 Februari 2010 saya bersama dengan teman-teman diminta untuk mengulang atau mengingat-ingat kembali kejadian atau pengalaman yang saya alami disana dan juga makna serta hal bisa saya ambil dari live-in tersebut. Hal tersebut saya alami ketika kami mengadakan pertemuan dengan Romo Tunjung, Pr. Saya bersama dengan Ando, Nesta, dan Bara diminta pendapatnya setelah live-in di wisma Yohanes Paulus II tersebut. Kami masing-masing berpendapat sesuai dengan yang kami refleksikan dan yang kami dapat dari pengalaman kami masing-masing. Dari saya pribadi, saya merasa semakin mantab untuk memilih Diosesan Jakarta ini sebagai seminari tinggi yang akan saya pilih nantinya. Saya merasa setelah live-in di situ, saya menemui bagaimana kehidupan para frater-frater diosesan Jakarta itu yang tentu tidak jauh dari seminari menengah wacana bhakti. Sebelum live-in saya sudah member tahu kepada Romo Tunjung, Pr bahwa saya menilai seminari tinggi KAJ tersebut pola kehidupannya tidak jauh dari seminari menengah. Saya merasa amat senang karena ketika saya tiba disana saya langsung diterima dengan baik, disambut, dan diperlakukan dengan baik. Dari perkenalan tersebut saya dapat menilai bahwa sesungguhnya seluruh komunitas disana dapat menerima kami dengan baik. banyak pengetahuan dan makna hidup yang saya dapatkan setelah live-in di seminari tinggi KAJ tersebut. Salah satunya saya menjadi mengenal lebih dalam tentang Keuskupan Agung Jakarta, karena pada hari senin ketika saya live-in disana saya diajak mengenal lebih dalam tentang Keuskupan dan juga berkunjung ke wisma purihita dimana para frater Diosesan Jakarta sebelum masuk ke tingkat filsafat harus menjalani Tahun Orientasi Rohani (TOR) disana. Saya menjadi tahu apa saja yang dilakukan ketika masa TOR tersebut, dan juga pengalaman yang mengasyikkan saat di TOR itu.
Saya juga sharing kepada para frater tingkat 1 dan para frater teologan. Dari sharing tersebut saya menjadi mengetahui bagaimana karya pastoral dan kesibukan studi para frater diosesan Jakarta, oleh sebab itu saya menjadi semakin tertantang karena masih banyak umat Jakarta yang membutuhkan jamahan dari para frater ataupun romo dan juga merindukan kehadiran dari Sang juru selamat Yesus Kristus dalam rupa hosti atau Sakramen Maha Kudus. Saya merasa bahwa hari-hari yang saya jalani tersebut sangat indah, dan setiap harinya selalu menjadi lebih baik, sehingga saya menyimpulkan bahwa tak perlulah saya pergi keliling dunia untuk menjadi seorang imam, akan tetapi banyak umat didalam keuskupan yang membesarkan dan mendidik saya hingga saat ini membutuhkan para umat yang menanggapi panggilan Tuhan. Dan juga saya menemukan hal bahwa jika saya menjadi imam diosesan Jakarta, maka pandangan semua orang benar bahwa imam diosesan Jakarta memang bisa kaya, akan tetapi para imam dan frater diosesan Jakarta tersebut tidak membutuhkan hal tersebut, karena untuk apa arti kekayaan itu bagi mereka itu semua tidak ada artinya dibandingkan dengan menjamah umat yang sudah lama merindukan uluran tangan Tuhan.

Mengenal kehidupan anak jalanan

Pada tanggal 7-10 oktober 2009, saya bersama dengan teman-teman seminaris kelas dua menjalani live-in sosial. Live-in kali ini dibagi dalam lima kelompok di lima tempat yang berbeda. Yaitu saya bersama dengan Aji dan Hasan live-in ke sanggar akar, sedangkan Ando, Endar, dan Nesta live-in ke muarangkek, Jatra, Elson, dan Andre ke cilincing, Alto, Sulu, dan Ali ke sanggar rebung, dan Bara, Deta, dan Yudhi ke desa putra. Saya memulai perjalanan bersama dengan Aji dan Hasan pada pukul 07.30 WIB, untuk menuju sanggar akar yang berada di kawasan gudang seng, kemudian kamipun tiba disana pada pukul 10.15 WIB. Sesampainya disana kami langsung mencari bapak susilo, yaitu orang yang mengurus sanggar akar tersebut. Bagi saya orang ini merupakan salah satu orang yang bisa dikatakan “hebat”, karena di zaman ini dan ditengah kota metropolitan ini masih ada orang yang mau menampung anak-anak jalanan, dan semua anak-anak jalanannya diurus dan dilarang untuk mengamen.
Setelah bertemu dengan bapak susilo itu kamipun langsung berbicara dan mengobrol bersama dengan bapak susilo dan dengan pengurus sanggar akar yang lain, kemudian saya melihat-lihat sanggar akar secara menyeluruh. Tempatnya sejk, bangunannya ditandai dengan tumpukan batu-bata tanpa cat tembok, dan rumah yang tingkat dua. Ketika kami sedang asyik-asyiknya mengobrol, tiba-tiba seseorang yang bernama roger salah satu pengurus dari sanggar akar tersebut menyuruh kami untuk berpisah. Jadi, kami bertiga dipisah menjadi tiga daerah cabang dari sanggar akar itu. Saya di penas, Aji di sanggar akar, dan Hasan di kampong melayu.
Dari situ saya mengngambil makna bahwa tidak selamanya semua orang harus bekerjasama ataupun dengan mengharapkan bantuan dari orang lain. Setelah kami ketahui bahwa hari ini ternyata kami dipisah ketiga tempat yang berbeda, dan sayapun merasakan bahwa saya masih susah untuk berkomunikasi dengan orang-orang disekitar itu. Di sanggar akar tersebut sedang sibuk untuk ada pementasan kampong, sehingga pekerjaan saya tidak terlalu berat karena mereka sibuk dengan latihan untuk pementasannya itu. Kemudian dari sanggar akar saya dibawa ke salahs atu cabang dari sanggar akar tersebut yang bernama penas. Saya sampai di penas malam pukul 09.00WIB, sampai disana ternyata ada rapat Rukun Tetangga disana untuk membahas pementasan seni tersebut. Setelah selesai, saya diminta untuk tinggal disalah satu rumah penduduk itu, agar tidak terlalu jauh dan tidak sendirian untuk tidur di TBA(Taman Baca Anak) yang dibuat oleh sanggar akar untuk anak-anak di kampong penas tersebut yang masih belum sekolah.
Hari kedua saya bangun kesiangan pukul 10.00 WIB. Di hari yang cerah ini saya langsung mandi dan sarapan pagi karena saya bersama dengan pemilik rumah itu yang merupakan panitia inti dari pementasan itu harus kembali lagi ke sanggar akar karena harus mengurusi persiapan untuk pementasan kampong tersebut. Setelah sampai disana ternyata Aji tidak ada, ia pergi mengambil barang di BSD, dan saya diminta bantuan untuk mengambil barang-barang pula ke kelapa gading. Saya mengangkat barang-barang yang akan disumbangkan dari sanggar akar terhadap korban gempa yang ada di padang. Kemudian setelah mengambil barang tersebut saya kembali ke sanggar akar lagi, dan disana saya bertemu dengan aji, kemudian saya membantu ajai untuk beres-beres ruang sekertariat sampai sore hari, setelah itu saya dan aji langsung mandi dan melihat latihan pementasan untuk festivel kampong tersebut. Latihan tersebut sampai malam hari, kemudian saya dan aji pergi ke salah satu halte terdekat untuk melihat-lihat pemandangan malam kota Jakarta didaerah pinggiran tersebut, disana saya melihat terjadi kecelakaan dan ketika saya melihat kecelakaan tersebut, beberapa anak sanggar akar tersebut yang ingin membeli makanan di warkop dekat dengan halte tersebut, akhirnya saya, dan aji mengobrol dengan anak-anak itu sampai jam 2 pagi, kemudian saya dan aji bergegas tidur.
Keesokan harinya atau di hari ketiga saya dan aji bangun pukul 06.35 WIB, terus kami membantu masak, terus kami makan pagi, selanjutnya kami berdua pergi ke penas dengan tujuan ingin mengajar anak-anak disana, akan teteapi disana sangat sepi sekali, tidak ada anak-anak kecil satupun di Taman Baca Anak yang disediakan oleh sanggar akar tersebut. Putus harapan kami, akan tetapi kami langsung berfikir untuk pergi kekampung melayu bertemu dengan hasan dan mengajar bersama, lagi-lagi kami dilarang untuk pergi kesana. Pak susilo berkata kepada kami bahwa tidak perlu kami jauh-jauh pergi ke kampong melayu tersebut, akan tetapi jika kami aktiv dan mau membaur maka kami juga akan menemukan pengalaman berharga dari banyak anak di sanggar akar tersebut. Kemudian kami berdua melihat-lihat kelas sablon disana, banyak hal baru yang saya dapati disana terutama cara untuk menyablon tersebut.
Kemudian setelah itu siang harinya saya bersama dengan aji pergi untuk berjalan-jalan sambil melihat-lihat daerah sekitar kembali, kami membeli es kelapa dan bkwan malang samapai sore hari. Ketika sore hari saya dan aji diajak untuk memasak, saya diajarkan cara memotong bawang, mengulek sambal, dan mencampur adonan tepung. Akan tetapi adonan yang saya buat salah, yang seharusnya mencampur tepung terigu dengan air biasa, akan tetapi saya mencampurkannya dengan air panas. Akhirnya adonan itu tidak bisa dimasak dan dimakan. Swetelah itu kamipun makan. Pada malam harinya pukul 20.00 hasan tiba disanggar akar tersebut dari lve-in sosialnya dikampung melayu. Kemudian kami bertiga pergi keluar untuk mencari makan malam, karena hasan belum makan sampai pada jam 1 pagi, kemudian kami bertiga tidur.
Hri terakhir, atau hari keempat saya bangun pukul 06.00, kemudian saya membantu masak dan kami bersama-sama sarapan pagi. Setelah itu kami satu persatu mulai mandi dan beres-bers untuk siap-siap pulang, dan akhirnya pada pukul 09.30 WIB kami bertiga pulang dari sanggar akar tersebut dan sampai kembali ke seminari menengah wacana bhakti ini pada pukul 12.30 WIB.
Dalam live-in tersebut saya merasa bahwa pandangan saya terhadap anak jalanan itu ternyata selama ini salah, biasanya saya melihat bahwa anak jalanan itu brutal, begajulan, dsb. Akan tetapi setelah saya live-in di sanggar akar ini tempat penampungan anak-anak jalanan saya merasa bahwa ternyata anak-anak jalanan yang saya pandang buruk selama ini ternyata memiliki jiwa seni yang kuat dan sangat kreative. Selama saya live-in disana saya merasa ditengah-tengah kota metropolitan ini dimana banyak gedung-gedung yang berbaris seperti perbukitan akan tetapi masih ada orang yang dapat membuka hatinya untuk memberikan pendidikan bagi orang-orang yang kurang mampu.
Kami satu angkatan diberikan live-in sosial dengan tujuan agar para seminaris dapat terjun langsung dalam dunia perjalanan. Kerasnya hidup terkadang menuntut orang untuk selalu berbuat jahat dan bahkan menyimpang dari aturan ataupun norma yang sudah ada. Didalam sanggar akar saya menemukan banyak orang yang mungkin sudah tidak punya ataupun tidak mengetahui keluarganya akan tetapi memiliki talenta yang cukup besar terutama di bidang seni dan musik. Itulah yang saya rasakan ketika live-in sosial yang diberikan dari pihak seminari Wacana Bhakti.

Thursday, April 22, 2010

Sejarah Singkat Indonesia

Peninggalan fosil-fosil Homo erectus, yang oleh antropolog juga dijuluki "Manusia Jawa", menimbulkan dugaan bahwa kepulauan Indonesia telah mulai berpenghuni pada antara dua juta sampai 500.000 tahun yang lalu.[10] Bangsa Austronesia, yang membentuk mayoritas penduduk pada saat ini, bermigrasi ke Asia Tenggara dari Taiwan. Mereka tiba di sekitar 2000 SM, dan menyebabkan bangsa Melanesia yang telah ada lebih dahulu di sana terdesak ke wilayah-wilayah yang jauh di timur kepulauan.[11] Kondisi tempat yang ideal bagi pertanian, dan penguasaan atas cara bercocok tanam padi setidaknya sejak abad ke-8 SM,[12] menyebabkan banyak perkampungan, kota, dan kerajaan-kerajaan kecil tumbuh berkembang dengan baik pada abad pertama masehi. Selain itu, Indonesia yang terletak di jalur perdagangan laut internasional dan antar pulau, telah menjadi jalur pelayaran antara India dan Cina selama beberapa abad.[13] Sejarah Indonesia selanjutnya mengalami banyak sekali pengaruh dari kegiatan perdagangan tersebut.[14]
Sejak abad ke-1 kapal dagang Indonesia telah berlayar jauh, bahkan sampai ke Afrika. Sebuah bagian dari relief kapal di candi Borobudur, k. 800 M.

Di bawah pengaruh agama Hindu dan Buddha, beberapa kerajaan terbentuk di pulau Kalimantan, Sumatra, dan Jawa sejak abad ke-4 hingga abad ke-14. Kutai, merupakan kerajaan tertua di Nusantara yang berdiri pada abad ke-4 di hulu sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Di wilayah barat pulau Jawa, pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M berdiri kerajaan Tarumanegara. Pemerintahan Tarumanagara dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda dari tahun 669 M sampai 1579 M. Pada abad ke-7 muncul kerajaan Malayu yang berpusat di Jambi, Sumatera. Sriwijaya mengalahkan Malayu dan muncul sebagai kerajaan maritim yang paling perkasa di Nusantara. Wilayah kekuasaannya meliputi Sumatera, Jawa, semenanjung Melayu, sekaligus mengontrol perdagangan di Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Cina Selatan.[15] Di bawah pengaruh Sriwijaya, antara abad ke-8 dan ke-10 wangsa Syailendra dan Sanjaya berhasil mengembangkan kerajaan-kerajaan berbasis agrikultur di Jawa, dengan peninggalan bersejarahnya seperti candi Borobudur dan candi Prambanan. Di akhir abad ke-13, Majapahit berdiri di bagian timur pulau Jawa. Di bawah pimpinan mahapatih Gajah Mada, kekuasaannya meluas sampai hampir meliputi wilayah Indonesia kini; dan sering disebut "Zaman Keemasan" dalam sejarah Indonesia.[16]

Kedatangan pedagang-pedagang Arab dan Persia melalui Gujarat, India, kemudian membawa agama Islam. Selain itu pelaut-pelaut Tiongkok yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho (Zheng He) yang beragama Islam, juga pernah menyinggahi wilayah ini pada awal abad ke-15.[17] Para pedagang-pedagang ini juga menyebarkan agama Islam di beberapa wilayah Nusantara. Samudera Pasai yang berdiri pada tahun 1267, merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia.

Ketika orang-orang Eropa datang pada awal abad ke-16, mereka menemukan beberapa kerajaan yang dengan mudah dapat mereka kuasai demi mendominasi perdagangan rempah-rempah. Portugis pertama kali mendarat di dua pelabuhan Kerajaan Sunda yaitu Banten dan Sunda Kelapa, tapi dapat diusir dan bergerak ke arah timur dan menguasai Maluku. Pada abad ke-17, Belanda muncul sebagai yang terkuat di antara negara-negara Eropa lainnya, mengalahkan Britania Raya dan Portugal (kecuali untuk koloni mereka, Timor Portugis). Pada masa itulah agama Kristen masuk ke Indonesia sebagai salah satu misi imperialisme lama yang dikenal sebagai 3G, yaitu Gold, Glory, and Gospel.[18] Belanda menguasai Indonesia sebagai koloni hingga Perang Dunia II, awalnya melalui VOC, dan kemudian langsung oleh pemerintah Belanda sejak awal abad ke-19.
Johannes van den Bosch, pencetus Cultuurstelsel

Di bawah sistem Cultuurstelsel (Sistem Penanaman) pada abad ke-19, perkebunan besar dan penanaman paksa dilaksanakan di Jawa, akhirnya menghasilkan keuntungan bagi Belanda yang tidak dapat dihasilkan VOC. Pada masa pemerintahan kolonial yang lebih bebas setelah 1870, sistem ini dihapus. Setelah 1901 pihak Belanda memperkenalkan Kebijakan Beretika,[19] yang termasuk reformasi politik yang terbatas dan investasi yang lebih besar di Hindia-Belanda.

Pada masa Perang Dunia II, sewaktu Belanda dijajah oleh Jerman, Jepang menguasai Indonesia. Setelah mendapatkan Indonesia pada tahun 1942, Jepang melihat bahwa para pejuang Indonesia merupakan rekan perdagangan yang kooperatif dan bersedia mengerahkan prajurit bila diperlukan. Soekarno, Mohammad Hatta, KH. Mas Mansur, dan Ki Hajar Dewantara diberikan penghargaan oleh Kaisar Jepang pada tahun 1943.

Pada Maret 1945 Jepang membentuk sebuah komite untuk kemerdekaan Indonesia. Setelah perang Pasifik berakhir pada tahun 1945, di bawah tekanan organisasi pemuda, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Setelah kemerdekaan, tiga pendiri bangsa yakni Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir masing-masing menjabat sebagai presiden, wakil presiden, dan perdana menteri. Dalam usaha untuk menguasai kembali Indonesia, Belanda mengirimkan pasukan mereka.

Usaha-usaha berdarah untuk meredam pergerakan kemerdekaan ini kemudian dikenal oleh orang Belanda sebagai 'aksi kepolisian' (Politionele Actie), atau dikenal oleh orang Indonesia sebagai Agresi Militer.[20] Belanda akhirnya menerima hak Indonesia untuk merdeka pada 27 Desember 1949 sebagai negara federal yang disebut Republik Indonesia Serikat setelah mendapat tekanan yang kuat dari kalangan internasional, terutama Amerika Serikat. Mosi Integral Natsir pada tanggal 17 Agustus 1950, menyerukan kembalinya negara kesatuan Republik Indonesia dan membubarkan Republik Indonesia Serikat. Soekarno kembali menjadi presiden dengan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden dan Mohammad Natsir sebagai perdana menteri.

Pada tahun 1950-an dan 1960-an, pemerintahan Soekarno mulai mengikuti sekaligus merintis gerakan non-blok pada awalnya, kemudian menjadi lebih dekat dengan blok sosialis, misalnya Republik Rakyat Cina dan Yugoslavia. Tahun 1960-an menjadi saksi terjadinya konfrontasi militer terhadap negara tetangga, Malaysia ("Konfrontasi"),[21] dan ketidakpuasan terhadap kesulitan ekonomi yang semakin besar. Selanjutnya pada tahun 1965 meletus kejadian G30S yang menyebabkan kematian 6 orang jenderal dan sejumlah perwira menengah lainnya. Muncul kekuatan baru yang menyebut dirinya Orde Baru yang segera menuduh Partai Komunis Indonesia sebagai otak di belakang kejadian ini dan bermaksud menggulingkan pemerintahan yang sah serta mengganti ideologi nasional menjadi berdasarkan paham sosialis-komunis. Tuduhan ini sekaligus dijadikan alasan untuk menggantikan pemerintahan lama di bawah Presiden Soekarno.
Hatta, Sukarno, dan Sjahrir, tiga pendiri Indonesia

Jenderal Soeharto menjadi presiden pada tahun 1967 dengan alasan untuk mengamankan negara dari ancaman komunisme. Sementara itu kondisi fisik Soekarno sendiri semakin melemah. Setelah Soeharto berkuasa, ratusan ribu warga Indonesia yang dicurigai terlibat pihak komunis dibunuh, sementara masih banyak lagi warga Indonesia yang sedang berada di luar negeri, tidak berani kembali ke tanah air, dan akhirnya dicabut kewarganegaraannya. Tiga puluh dua tahun masa kekuasaan Soeharto dinamakan Orde Baru, sementara masa pemerintahan Soekarno disebut Orde Lama.

Soeharto menerapkan ekonomi neoliberal dan berhasil mendatangkan investasi luar negeri yang besar untuk masuk ke Indonesia dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar, meski tidak merata. Pada awal rezim Orde Baru kebijakan ekomomi Indonesia disusun oleh sekelompok ekonom lulusan Departemen Ekonomi Universitas California, Berkeley, yang dipanggil "Mafia Berkeley".[22] Namun, Soeharto menambah kekayaannya dan keluarganya melalui praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang meluas dan dia akhirnya dipaksa turun dari jabatannya setelah aksi demonstrasi besar-besaran dan kondisi ekonomi negara yang memburuk pada tahun 1998.

Dari 1998 hingga 2001, Indonesia mempunyai tiga presiden: Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri. Pada tahun 2004 pemilu satu hari terbesar di dunia[23] diadakan dan dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono.

Indonesia kini sedang mengalami masalah-masalah ekonomi, politik dan pertikaian bernuansa agama di dalam negeri, dan beberapa daerah berusaha untuk mendapatkan kemerdekaan, terutama Papua. Timor Timur akhirnya resmi memisahkan diri pada tahun 1999 setelah 24 tahun bersatu dengan Indonesia dan 3 tahun di bawah administrasi PBB menjadi negara Timor Leste.

Pada Desember 2004 dan Maret 2005, Aceh dan Nias dilanda dua gempa bumi besar yang totalnya menewaskan ratusan ribu jiwa. (Lihat Gempa bumi Samudra Hindia 2004 dan Gempa bumi Sumatra Maret 2005.) Kejadian ini disusul oleh gempa bumi di Yogyakarta dan tsunami yang menghantam Pantai Pangandaran dan sekitarnya, serta banjir lumpur di Sidoarjo pada 2006 yang tidak kunjung terpecahkan.

Tuesday, April 20, 2010

Sabda ALAM dan lilin-lilin Kecil

Kicau burung bernyanyi
Tanda buana membuka hari
Dan embun pun memudar
Menyongsong fajar

Sejenak ku terlena
Akan kehidupan yang fana
Nikmat alam semesta
Nusa indah nirmala

Serasa pagi tersenyum mesra
Tertiup bayu membangkit sukma
Adakah esok kan tersenyum jua
Memberi hangatnya sejuta rasa

Sabda alam, menghanyutkan suasanaku
Kadangkala kebosanan mencekam jiwa
Sabda alam, berbuah kodrat tak tertahan
Rasa cinta, rasa nista berpadu satu

Oh...
Manakala mentari tua
Lelah berpijar
Oh...
Manakala bulan nan genit
Enggan tersenyum
Berkerut kerut tiada berseri
Tersendat-sendat merayap dalam kegelapan
Hitam kini hitam nanti
Gelap kini akankah berganti

Chorus
Engkau lilin-lilin kecil
Sanggupkah kau mengganti
Sanggupkah kau memberi
Seberkas cahaya
Engkau lilin-lilin kecil
Sanggupkah kau berpijar
Sanggupkah kau menyengat
Seisi dunia



Oh...
Manakala mentari tua
Lelah berpijar
Oh...
Manakala bulan nan genit
Enggan tersenyum
Berkerut kerut tiada berseri
Tersendat-sendat merayap dalam kegelapan
Hitam kini hitam nanti
Gelap kini akankah berganti

Chorus
Engkau lilin-lilin kecil
Sanggupkah kau mengganti
Sanggupkah kau memberi
Seberkas cahaya
Engkau lilin-lilin kecil
Sanggupkah kau berpijar
Sanggupkah kau menyengat
Seisi dunia (2X)

Meraih Mimpi

mari berlari meraih mimpi
menggapai langit yang tinggi
jalani hari dengan berani
tegaskan suara hati

kuatkan diri dan janganlah kau ragu
tak kan ada yang hentikan langkahmu

Reff :
ya..ya..kita kan terus berlari
ya..ya..tak kan berhenti di sini
ya..ya..larilah meraih mimpi
ya..ya..hingga nafas tlah berhenti

ku akan bertahan
hadapi rintangan
perlahan-lahan dan menang
jalani hari dengan berani
tegaskan suara hati

kuatkan diri dan janganlah kau ragu
tak kan ada yang hentikan langkahmu

Back to Reff

tak ada yang tak mungkin’
bila kita yakin
pastilah engkau dapati

Monday, April 12, 2010

Penaklukan gunung burangrang

pada hari senin sampai dengan rabu yang bertepatan dengan ujian nasional, kami para komunitas Seminari Menengah Wacana Bhakti melakukan pendakian gunung burangrang di daerah bandung. awal perjalanan dari tempat tinggal kami yakni di Jakarta Selatan pukul 13.00, dan sampai di pos komando melalui tol padalarang, dan kecamatan cimahi pukul 17.00, kemudian salah satu teman saya yaitu hasan melakukan registrasi untuk menaiki gunung tersebut.

senag rasanya ketika kami semua sampai, meski hujan turun deras, akan tetapi pemandang di sekitar melupakan kami akan terjadinya hujan tersebut. kami semua mengecamp di dekat hutan pinus, disana ada lapangan yang sedikit luas, dan cukup untuk 2 tenda dum besar, dan 4 tenda dum kecil. sepanjang perjalanan awal, kita akan melihat hutan pinus yang sangat indah, kemudian kami istirahat. pagi harinya dihari kedua kami melakukan pendakian untuk kepuncak tertinggi gunung burangrang, karena gunanug tersebut memiliki tiga puncak.
kami melakukan perjalanan mulai dari jam 2 pagi bersama dengan 2 tour guide, akan tetapi saya dan teman saya jatra mendaki lebih lama karena kami berdua harus mengurus tenda yang akan kami tinggalkan, karena antara tempat kami ngecamp dengan puncak tersebut cukup jauh. perjalanan pendakian kami mulai, dengan pendakian yang memiliki jalan yang curam, kiri kanan perjalanan adalah jurang dan jalan pendakaiannyapun selalu menanjak dan curam. hanya sedikit bagian landai saat kami mendaki sehingga butuh perjuangan yang keras untuk kami bertahan mendaki gunung tersebut.

dengan semangat mengejar sunrise para komunitaspun merasa tidak sabar sehingga ingin buru-buru mendaki hingga mendapat sunrise dipuncak gunung nanti. sekitar jam 5 pagi kami sudah menempuh 3/4 perjalanan untuk mendaki. kali ini kami dihadapkan kepada perjalanan yang menurun dan curam sehingga kami seakan-akan bermain perosotan karena banyak diantara kami yang terpeleset dan merosot menyusuri tanah yang licin tersebut. puncaknya semakin dekat akan tetapi perjalanan semakin berat, saya mengambil sebuah pandangan bahwa perjalaanan kami seakan-akan seperti perjalanan pemanggulan salib yesus.

akhirnya kami berjalan di jalan yang landai, akan tetapi sebelah kanan perjalanan kami adalah jurang yang langsung terlihat bahwa dibawahnya adalah hamparan hutan pinus. ada bagian jalan yang seakan-akan terancam longsor sehingga kami harus berhati-hati melewati jalan tersebut. akhirnya dua tanjakan terakhir terlihat dan puncak tertinggi burangrangpun sudah terlihat oleh kami. saya sempat berfoto-foto ketika menaiki puncak keduanya sebelum menuju puncak utama, dan kami semua sampai dipuncak utama pada jam 6.30 pagi, walaupun tidak dapat sunruise, akan tetapi pemandangan dipuncak utama dengan titik triangulasinyapun sangat indah dan menarik, sehingga perjalanan kami ini tidak akan kami lupakan karena kami semua telah menaklukan gunung burangrang dengan tiga puncaknya tersebut.

kemudian kami semua turun dan saya sebagai panitia maka harus menyiapkan makanan untuk kami santap sehabis perjalanan ini. dan jelas bahwa ketika turun lebih cepat tetapi menegangkan karena butuh keseimbangan dan kesabaran yang besar untuk dapat berjalan dengan selamat, dan kamipun selamat kemudian makan pagi lalu istirahat. perjalanan turun lebih cepat dibandingkan perjalanan naik.

Monday, March 15, 2010

Dimanakah Surga dan Neraka

Bagian terakhir dari kehidupan Akhirat adalah Surga dan Neraka. Surga adalah
tempat yang digambarkan sangat indah dan penuh fasilitas, yang disediakan bagi
orang-orang yang banyak berbuat kebajikan. Sedangkan Neraka, adalah tempat yang
digambarkan sangat mengerikan yang disediakan untuk orang-orang yang banyak
berbuat dosa dan kejahatan.

Dimanakah kedua tempat itu berada? Sampai sejauh ini, kebanyakan kita tidak
memperoleh kesimpulan yang cukup memadai untuk menggambarkan Surga. Padahal
sebenarnya Al Qur'an memberikan informasi yang sangat banyak tentang keduanya.
Jika kita mencermatinya, Insya Allah kita bisa memperoleh gambaran yang lumayan
baik.

Yang pertama, Surga itu ternyata luasnya seluas langit dan Bumi. Hal ini
disebutkan Allah didalam firmanNya

Seberapakah luasnya langit dan bumi? menjawab pertanyaan ini, harus terlebih
dahulu pertanyaan : Langit yang mana, dan Bumi yang mana? Lho, apakah ada
beberapa langit dan Ternyata langit kita ada 7 buah, dan demikian Apakah ada
informasinya di dalam Al Qur'an? yang dijelaskan oleh Allah di dalam firmanNya.

Bagaimanakah menjelaskan bahwa langit dan Bumi itu ada tujuh? Hal ini memang
sangat abstrak, tetapi sebenarnya bisa dijelaskan dengan teori dimensi.

Akan tetapi secara ringkas dan global saya coba uraikan di sini.
Berulangkali, Allah memang mengatakan bahwa Dia menciptakan langit alam semesta
ini sebenarnya bukan hanya satu, melainkan tujuh.

Langit yang pertama dihuni oleh manusia, hewan, dan tumbuhan, serta
benda-benda langit seperti bintang, planet, galaksi, supercluster dan lain
sebagainya. Langit yang disebut sebagai langit Dunia ini berdimensi 3.

Langit kedua dihuni oleh bangsa jin. Mereka memiliki dimensi 4. Alamnya
sebenarnya berdampingan dengan kita, akan tetapi tidak bersentuhan, karena
memang dimensinya berbeda. Perbandingannya bagaikan 'Dunia Bayangan' yang 2
dimensi dan hidup di permukaan tembok, dengan 'Dunia Manusia' yang berdimensi
3, hidup di dalam ruangan. Kedua dunia itu hidup berdampingan tetapi tidak
bercampur aduk.

Langit ketiga sampai ke enam, berturut-turut adalah berdimensi 5, 6, 7, dan
8. Semua langit itu digunakan dalam masa penantian' oleh jiwa-jiwa manusia yang
telah mati, selama di Alam Barzakh. Rasulullah, diceritakan pernah bertemu jiwa
para Nabi ketika menjalani Mi'raj ke langit yang ke tujuh.

Langit yang ke tujuh adalah langit tertinggi, yang berdimensi 9. Di langit
inilah terdapat Surga dan Neraka. Ketika berada di Sidratul Muntaha, di langit
ke tujuh, Rasulullah pernah melihat Surga. Hal ini diceritakan di ayat berikut
ini.

Langit ke tujuh adalah langit yang 'terbesar' dan 'tertinggi' di antara ke
tujuh langit itu. Sebab, menurut teori dimensi, langit yang lebih rendah
dimensinya, termuat oleh langit yang lebih tinggi dimensinya. Berarti, langit
ke tujuh memuat langit ke enam, memuat langit ke lima, ke empat ke tiga, ke dua
dan ke satu.

Bayangkan, ibarat sebuah kubus (dimensi 3) yang tersusun dari
lembaran-lembaran luasan (dimensi 2), dan tersusun oleh garis-garis (berdimensi
1), serta memuat titik titik dalam jumlah tak berhingga, sebagai komponen
penyusunnya.

Pendek kata, langit ke tujuh memuat seluruh eksistensi yang ada di langit
pertama sampai ke tujuh. Maka, ketika Surga itu berada di langit ke tujuh,
sebenarnya Surga itu memang memiliki luas yang seluas luasnya: terbentang
antara langit dan Bumi. Bukan hanya langit Dunia, melainkan langit Akhirat,
yaitu di langit yang ke tujuh. Akan tetapi, semua itu bisa diobservasi dari
Bumi yang kita tempati ini. Kenapa bisa demikian?

Bumi yang kita tempati ini berada di dalam pertama alias langit Dunia. Akan
tetapi, karena langit pertama menjadi komponen penyusun Langit Kedua, maka Bumi
ini juga berada di langit ke dua. Jika sebuah garis tersusun dari titik-titik,
dan sebuah luasan tersusun dari garis garis yang dijejer, maka titik-titik itu
pun akan menjadi penyusun luasan

Demikian pula, Bumi sebagai komponen penyusun langit pertama, juga tetap
eksis di langit ke dua, di langit tiga sampai langit yang ke tujuh.

Hanya saja, karena sudut pandang setiap langit adalah berbeda beda, maka Bumi
yang sama dilihat dari langit pertama akan berbeda dibandingkan dengan dilihat
dari langit kedua. Demikian pula akan berbeda jika dilihat dari langit ke tiga
sampai langit ke tujuh.

Sehingga, kita bisa memahami apa yang dikatakan di QS. 65 : 12 di atas, bahwa
sebagaimana langit, Bumi temyata juga ada 7 buah. Sebenarnya, bukan ada 7 buah
Bumi, melainkan Bumi yang satu tersebut memiliki 7 wajah sesuai dengan sudut
pandang langitnya.

Dari Bumi yang satu itu juga kita sebenarnya bisa mengobservasi langit yang
ke tujuh. Untuk bisa merasakan Surga dan Neraka, kita tidak perlu beranjak ke
mana-mana. Cukup dari Bumi saja!

Karena itu Allah mengatakan bahwa Akhirat itu sebenarnya terjadi di Bumi,
seperti dikatakan Allah di QS. 7:25. Di Bumi itulah kita hidup, di Bumi itu
kita mati, dan di Bumi itu pula kita dibangkitkan.

Jadi, pada kenyataannya, kita ini sudah berada di dalam Akhirat (langit ke
tujuh) sejak hidup di dunia. Hanya karena keterbatasan fisik dan indera kita
saja, maka kita tidak menyadari bahwa kita telah berada di dalam alam Akhirat
sejak awal.

Alam Akhirat bukanlah alam yang sekarang tidak ada, lantas nanti diadakan
setelah terjadinya kiamat. Bukan begitu. Alam Akhirat ini sekarang sudah ada.
Bahkan, sejak alam semesta diciptakan, Allah sudah menciptakan Akhirat, Surga
dan Neraka di langit yang ke tujuh. Tapi kita belum bisa merasakannya, karena
badan kita 'terikat' di dimensi 3. Sementara itu, Akhirat berada di dimensi 9.

Buktinya, Rasulullah sudah pernah melihat Surga itu di langit ke tujuh, saat
Mi'raj. Dan ketika itu, sebenarnya Rasulullah tidak beranjak dari Bumi. Beliau
hanya mengalami perjalanan dimensional, dari dimensi 3 di langit pertama menuju
dimensi 9 di langit ke tujuh. Tetapi beliau masih tetap berada di Bumi!

Oleh sebab itu, Surga ini bisa ditampakkan atau tidak ditampakkan oleh Allah
kepada kita, karena ia memang sudah ada. Persoalannya, ia tersembunyi dari
pandangan kita dikarenakan terbatasnya dimensi manusia. Jika batas-batas
dimensi itu disingkapkan oleh Allah, kita akan bisa 'melihatnya' atau bahkan
merasakannya.

Nah, hal itu bakal terjadi kepada kita setelah terjadinya kiamat Bumi. Alam
semesta bergerak menciut kembali, sehingga hukum alamnya akan berbalik 180
derajat. Indera kita, termasuk 'mata hati', bakal bisa mengobservasi dan
merasakan seluruh langit yang tujuh itu dari Bumi. Kita lantas bisa 'melihat'
Surga dan Neraka, termasuk para malaikat yang hidup di langit ke tujuh.