.jpg)
Pada Tanggal 8 februari saya merasa sangat senang sekali bagaikan burung yang terbang bebas di udara. Tadi pagi saya bersama dengan teman-teman diajak pergi ke Keuskupan Agung Jakarta dan Wisma Purihita Klender, untuk mengenal keuskupan dan tempat tinggal serta aktivitas kehidupan di Tahun Orientasi Rohani (TOR) dioses Jakarta. Saya merasa bahagia karena dapat mengetahui itu semua, dan bagi saya semua ini terjadi karena adanya keterbukaan untuk saling mengenal.
Dari peristiwa itu, banyak hal-hal atau buah-buah rohani yang bisa saya petik, salah satunya adalah keterbukaan. Sebagai seorang calon imam saya sadar sepenuhnya bahwa sifat yang harus ada dalam sosok seorang imam itu salah satunya keterbukaan. Dalam kehidupan, kita sebagai makhluk sosial yang berarti tidak dapat hidup sendiri didalam suatu komunitas atau masyarakat.
Dengan demikian keterbukaan itu penting agar kita dapat menjalin relasi dan juga menumbuhkan kehidupan yang harmonis, sehingga hidup ini akan menjadi berwarna dan kita dapat saling mengerti satu dengan yang lain, seperti halnya Bunda Teresa yang melihat kehadiran Allah lewat orang yang kehausan atau membutuhkan air disebuah stasiun kereta api itu. Hal itu saya rasa ia dapatkan karena ia dapat mengerti apa yang ada disekitarnya dan lingkungannya sehingga ia dapat memperhatikan, memberikan kasih sayang, dan menolong serta memberikan kebahagiaan bagi orang-orang yang ada disekitarnya.
Oleh sebab itu saya merasa keterbukaan itu sangat penting untuk saya tanamkan dalam diri saya pribadi serta saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari, karena dalam kehidupan saya tidak bisa berbuat apa-apa tanpa bantuan dari orang lain araupun orang-orang yang berada disekitar saya.
Sebagai contoh saya tidak dapat menjalani pangilan ini tanpa dukungan dari keluarga, bagi saya semua yang ada dalam kehidupan saya hampir secara keseluruhan membutuhkan bantuan orang lain, walaupun ada saatnya saya harus menyelesaikannya sendiri, akan tetapi seringkali saya menanyakan bantuan lewat teman dekat berupa saran maupun solusi yang baik untuk saya kedepannya. Untuk itu agar semuanya dapat tergapai serta relasi saya dengan orang-orang disekitar saya dapat baik maka saya seharusnya mulai terbuka dan tetap menjaga nama baik keluarga, diri sendiri dan hal-hal yang seharusnya tidak dipublikasikan sehingga akan terjadi dan terjalin sebuah kehidupan yang harmonis didalam lingkungan masyarakat ini.
Hari ini 9 Februari 2010 lagi-lagi aku mendapatkan hal baru lewat aktivitas di wisma cempaka putih ini. Memang kemarin adalah hari yang indah, akan tetapi hari inipun tidak kalah indah dari hari kemarin. Mentari bersinar cerah, awan putih menghiasi langit, serta udara sejuk dipagi hari. Saya bersama teman-teman, hari ini mengenal salah satu paroki yang ada di Keuskupan Agung Jakarta, yaitu St. Ykobus-Kelapa Gading bersama dengan kedua stasinya yaitu Kim Tai Gon dan Pegangsaan.
Kemudian saat malam hari saya menonton film yang berjudul “Love So Difine”. Film itu bagi saya sangat menarik dan memberikan gambaran serta pencerahan baru terhadap saya. didalam film tersebut dikisahkan seorang calon imam yang melakukan kesalahan yaitu menjatuhkan sibori sehingga hosti didalamnya tumpah dan berantakan.
Oleh sebab itu ia dihukum untuk melakukan tugas besar yaitu menjadikan keponakan imam kepalanya menjadi khatolik atau dibaptis. Hal itu merupakan syarat agar ia ditahbiskan nantinya. Ia harus mengikuti semua kemauan dari wanita itu agar wanita itu mau diajak untuk menjadi khatolik dan agar ia bisa ditahbiskan menjadi seorang imam.
Akan tetapi semua hal yang ia lakukan seakan-akan percuma, karena ketika wanita itu akan dibaptis dan ia akan mendapatkan pesta pentahbisan diakon perempuan itu emutuskan untuk kembali lagi ke amerika bersama mantan kekasihnya. Pada akhir cerita masih belum jelas apakah ia keluar dari imamat atau tidak, yang jelas ia terlanjur mencintai wanita itu.
Dari film tersebut sudah terlihat jelas bahwa imamt itu adalah sakramen yang luhur dan bukan tempat untuk coba-coba. Keputusan dalam mengambil sebuah sakramen imamat adalah keputusan yang harus dipirkan benar-benar. Seperti kata Yesus bahwa siapapun yang hendak mengikuti-Nya, maka orant tersebut harus berani meninggalkan semua kepemilikkannya dan juga keluarganya, karena untuk menjadi seorang penjala manusia bukannlah hal yang mudah seperti membalikkan telapak tangan.
Oleh sebab itu setelah menonton film tersebut, saya merasa sebagai calon imam hendaklah saya harus memikirkan matang-matang dan merefleksikan kehidupan saya setiap hari, apakah saya cocok jadi imam? Itulah pertanyaan yang paling dalam untuk direfleksikan, karena bagi saya panggilan itu tidak hanya ditanggapi, akan tetapi direfleksikan, dimaknai, dan juga dihayati.
Pada Tanggal 10 februari 2010 kembali saya mendapatkan hal baru. Kali ini saya dari pagi hari sampai malam hari kurang lebih saya berada di luar wisma cempaka putih dan saya seperti melihat kehidupan dari pagi sampai malam orang-orang atau masyarakat Jakarta ini. Pada pagi hari saya bersama teman-teman yang live-in bersama di wisma cempaka ini pergi berenang bersama Fr. Malloe, kemudian setelah itu saya bersama dengan kakak saya Fr. Enga dan juga Ando ingin membeli sandal untuk naik gunung jadi saya pergi ke terminal rawa mangun, kemudian saat sore hari saya bersama dengan teman-teman dan para frater-frater diosesan pergi ke Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, dan saat malam hari merupakan pengalaman puncak bagi saya karena saya bersama teman-teman dengan Fr. Pramono, Fr. Malloe, dan Fr. Bayu Gollo pergi ke sebuah warung angkringan masih didaerah cempaka putih ini. Ini merupakan acara sering dari frater diosesan yang menduduki tingkat teologi.
Banyak hal yang telah kami bicarakan disana, salah satunya adalah beratnya kehidupan dan masyarakat Jakarta yang harus membanting tulang dan memikirkan masa depan di kota metropolitan ini. Fr. Pramono banyak menceritakan pengalamannya selama menjadi seorang frater di Jakarta ini terutama saat tahun Orientasi Pastoralnya yaitu di paroki pantai Indah kapuk-Regina Caeli. “Keras” itulah gambaran dari kehidupan masyarakat dan umat pantai indah kapuk. Ekonomi mayarakatnya rata-rata menengah keatas, dan kesibukkan pasti menyelimuti banyak umat disana sehingga besar kemungkinan yang akan terjad jika hubungan mereka dengan Tuhan menjadi agak jauh.
Bagi saya sebagai seorang seminaris menanggapi hal tersebut merupakan hal yang biasa terjadi didalam paroki-paroki yang ada di Keuskupan Agung Jakarta ini. Bukan hal yang beda jika umat-umat Jakarta sibuk akan pekerjaan dan melupakan Tuhan. Sungguh keprihatinan yang besar didalam gereja dan paroki yang ada dijakarta ini, dan ini juga yang merupakan mengapa sayapun tertarik untuk masuk kedalam diosesan Jakarta, dan ingin menjadi imam diosesan Jakarta, karena bagi saya tak perlulah saya pergi keliling dunia atau keluar keuskupan sementara kehidupan didalam keuskupan saya sendiripun masih berantakan dan belum teratur. Imam diosesan Jakarta sangat kurang jika dibandingkan dengan paroki dan umat yang ada, tidak selamanya keuskupan Agung Jakarta meminta bantuan terhadap tarekat lain. Oleh sebab itu melihat keprihatinan ini saya merasa bahwa panggilan dijakarta sangat kering dan saya sadar bahwa Jakarta membutuhkan saya, untuk itu saya siap menjadi gembala baik di Jakarta dan juga menerobos sisi gelap Jakarta dan juga siap untuk menjalani tugas dan menanggapi panggilan Tuhan untuk menjadi imam diosesan Jakarta. Maka dari itu kini saya mencoba menggapai impian bersama tuhan ditengah kota metro politan ini.
Pada Tanggal 11 Februari saya mendapatkan hal baru lagi didalam live-in ini. saya mendapatkan hal itu setelah pengalaman saya hari ini ketika doa lintas angkatan, dimana saya diminta untuk mensharingkan pengalaman saya selama live-in disini, dan juga para frater yang telah mensharingkan dan bercerita selama menjalani hidup sebagai seorang frater dan calon imam diosesan Jakarta. Bagi saya dari sharing tersebut banyak hal yang telah saya dapatkan dan bisa saya refleksikan untuk kedepannya. Didalam sharing tersebut hal yang paling menarik bagi saya ketika membahas dimana Fr. Admojo ditawarkan oleh seorang temannya sebuah Hand Phone, akan tetapi ia menolaknya karena ia merasa bahwa itu merupakan hal yang tidak sedang dibutuhkan saat-saat ini.
Dari pengalaman ini saya yakin bahwa segala pandangan dari banyak orang tentang imam diosesan yang sering terdengar dan terucap dari beberapa orang yang merupakan umat Jakarta sendiri bahwa imam diosesan sering disebut seorang imam yang bisa jadi “kaya”. Bagi saya itu merupakan sebuah pandangan. Memang tidak semua pandangan itu benar, akan tetapi tidak bisa dipersalahkan, hanya pandangan tersebut biasanya tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh orang yang memberikan pandangan itu sendiri. saya melihat dari sosok seorang Fr. Graha yang mengatakan bahwa memang benar imam diosesan itu bisa jadi kaya kalau mereka mau, akan tetapi mereka tidak butuh itu, karena tidak ada gunanya.
Sangat menarik bagi saya hal ini untuk direfleksikan dan saya hayati. Kehidupan Jakarta ini sangat keras, segala sesuatu bisa dihalalkan demi tercapai sebuah keinginan seseorang. Itulah titik beratnya Keuskupan Agung Jakarta ini karena berada disebuah kota metropolitan dimana banyak orang berjuang demi mendapatkan suatu kehormatan, dan disitulah peren para imam diosesan dan imam-iamam lainnya yang berkarya dijakarta ini untuk meluruskan jalan para umat Jakarta agar tetap berpegang teguh pada Tuhan. Saya merasa didalam keuskupan ini kehidupan para umatnya sangat keras karena bentrok dengan kesibukan yang menimpa dan melanda para umat untuk menghidupkan keluarga.
Tantangan besar bagi saya untuk kerja dijakarta, dimana umat yang sudah mengenal kemajuan technologi dan mengenyam pendidikan yang tinggi harus diarahkan untuk tetap setia kepada Tuhan. Berat menjalani panggilan di Jakarta ini karena bertebar cukup banyak bermacam-macam rintangan, cobaan, dan godaan. Tidak seperti para misionaris yang setidaknya hanya membutuhkan pendekatan dan mengenal adat-istiadat daerah terpencil tersebut, di Jakarta seorang imamnya harus lebih pintar dalam pendidikan baik liturgy maupun pengetahuan umumnya. Pengenalan situasipun juga dibutuhkan, oleh sebab itu saya mereasa bahwa tantangan terberat berada dikota metro politan ini Keuskupan Agung Jakarta, dan jika Tuhan mengijinkan, saya siap untuk menjadi salah satu gembala di Jakarta ini.
Pada tanggal 12 Februari 2010 saya bersama dengan teman-teman diminta untuk mengulang atau mengingat-ingat kembali kejadian atau pengalaman yang saya alami disana dan juga makna serta hal bisa saya ambil dari live-in tersebut. Hal tersebut saya alami ketika kami mengadakan pertemuan dengan Romo Tunjung, Pr. Saya bersama dengan Ando, Nesta, dan Bara diminta pendapatnya setelah live-in di wisma Yohanes Paulus II tersebut. Kami masing-masing berpendapat sesuai dengan yang kami refleksikan dan yang kami dapat dari pengalaman kami masing-masing. Dari saya pribadi, saya merasa semakin mantab untuk memilih Diosesan Jakarta ini sebagai seminari tinggi yang akan saya pilih nantinya. Saya merasa setelah live-in di situ, saya menemui bagaimana kehidupan para frater-frater diosesan Jakarta itu yang tentu tidak jauh dari seminari menengah wacana bhakti. Sebelum live-in saya sudah member tahu kepada Romo Tunjung, Pr bahwa saya menilai seminari tinggi KAJ tersebut pola kehidupannya tidak jauh dari seminari menengah. Saya merasa amat senang karena ketika saya tiba disana saya langsung diterima dengan baik, disambut, dan diperlakukan dengan baik. Dari perkenalan tersebut saya dapat menilai bahwa sesungguhnya seluruh komunitas disana dapat menerima kami dengan baik. banyak pengetahuan dan makna hidup yang saya dapatkan setelah live-in di seminari tinggi KAJ tersebut. Salah satunya saya menjadi mengenal lebih dalam tentang Keuskupan Agung Jakarta, karena pada hari senin ketika saya live-in disana saya diajak mengenal lebih dalam tentang Keuskupan dan juga berkunjung ke wisma purihita dimana para frater Diosesan Jakarta sebelum masuk ke tingkat filsafat harus menjalani Tahun Orientasi Rohani (TOR) disana. Saya menjadi tahu apa saja yang dilakukan ketika masa TOR tersebut, dan juga pengalaman yang mengasyikkan saat di TOR itu.
Saya juga sharing kepada para frater tingkat 1 dan para frater teologan. Dari sharing tersebut saya menjadi mengetahui bagaimana karya pastoral dan kesibukan studi para frater diosesan Jakarta, oleh sebab itu saya menjadi semakin tertantang karena masih banyak umat Jakarta yang membutuhkan jamahan dari para frater ataupun romo dan juga merindukan kehadiran dari Sang juru selamat Yesus Kristus dalam rupa hosti atau Sakramen Maha Kudus. Saya merasa bahwa hari-hari yang saya jalani tersebut sangat indah, dan setiap harinya selalu menjadi lebih baik, sehingga saya menyimpulkan bahwa tak perlulah saya pergi keliling dunia untuk menjadi seorang imam, akan tetapi banyak umat didalam keuskupan yang membesarkan dan mendidik saya hingga saat ini membutuhkan para umat yang menanggapi panggilan Tuhan. Dan juga saya menemukan hal bahwa jika saya menjadi imam diosesan Jakarta, maka pandangan semua orang benar bahwa imam diosesan Jakarta memang bisa kaya, akan tetapi para imam dan frater diosesan Jakarta tersebut tidak membutuhkan hal tersebut, karena untuk apa arti kekayaan itu bagi mereka itu semua tidak ada artinya dibandingkan dengan menjamah umat yang sudah lama merindukan uluran tangan Tuhan.