Pada tanggal 7-10 oktober 2009, saya bersama dengan teman-teman seminaris kelas dua menjalani live-in sosial. Live-in kali ini dibagi dalam lima kelompok di lima tempat yang berbeda. Yaitu saya bersama dengan Aji dan Hasan live-in ke sanggar akar, sedangkan Ando, Endar, dan Nesta live-in ke muarangkek, Jatra, Elson, dan Andre ke cilincing, Alto, Sulu, dan Ali ke sanggar rebung, dan Bara, Deta, dan Yudhi ke desa putra. Saya memulai perjalanan bersama dengan Aji dan Hasan pada pukul 07.30 WIB, untuk menuju sanggar akar yang berada di kawasan gudang seng, kemudian kamipun tiba disana pada pukul 10.15 WIB. Sesampainya disana kami langsung mencari bapak susilo, yaitu orang yang mengurus sanggar akar tersebut. Bagi saya orang ini merupakan salah satu orang yang bisa dikatakan “hebat”, karena di zaman ini dan ditengah kota metropolitan ini masih ada orang yang mau menampung anak-anak jalanan, dan semua anak-anak jalanannya diurus dan dilarang untuk mengamen.
Setelah bertemu dengan bapak susilo itu kamipun langsung berbicara dan mengobrol bersama dengan bapak susilo dan dengan pengurus sanggar akar yang lain, kemudian saya melihat-lihat sanggar akar secara menyeluruh. Tempatnya sejk, bangunannya ditandai dengan tumpukan batu-bata tanpa cat tembok, dan rumah yang tingkat dua. Ketika kami sedang asyik-asyiknya mengobrol, tiba-tiba seseorang yang bernama roger salah satu pengurus dari sanggar akar tersebut menyuruh kami untuk berpisah. Jadi, kami bertiga dipisah menjadi tiga daerah cabang dari sanggar akar itu. Saya di penas, Aji di sanggar akar, dan Hasan di kampong melayu.
Dari situ saya mengngambil makna bahwa tidak selamanya semua orang harus bekerjasama ataupun dengan mengharapkan bantuan dari orang lain. Setelah kami ketahui bahwa hari ini ternyata kami dipisah ketiga tempat yang berbeda, dan sayapun merasakan bahwa saya masih susah untuk berkomunikasi dengan orang-orang disekitar itu. Di sanggar akar tersebut sedang sibuk untuk ada pementasan kampong, sehingga pekerjaan saya tidak terlalu berat karena mereka sibuk dengan latihan untuk pementasannya itu. Kemudian dari sanggar akar saya dibawa ke salahs atu cabang dari sanggar akar tersebut yang bernama penas. Saya sampai di penas malam pukul 09.00WIB, sampai disana ternyata ada rapat Rukun Tetangga disana untuk membahas pementasan seni tersebut. Setelah selesai, saya diminta untuk tinggal disalah satu rumah penduduk itu, agar tidak terlalu jauh dan tidak sendirian untuk tidur di TBA(Taman Baca Anak) yang dibuat oleh sanggar akar untuk anak-anak di kampong penas tersebut yang masih belum sekolah.
Hari kedua saya bangun kesiangan pukul 10.00 WIB. Di hari yang cerah ini saya langsung mandi dan sarapan pagi karena saya bersama dengan pemilik rumah itu yang merupakan panitia inti dari pementasan itu harus kembali lagi ke sanggar akar karena harus mengurusi persiapan untuk pementasan kampong tersebut. Setelah sampai disana ternyata Aji tidak ada, ia pergi mengambil barang di BSD, dan saya diminta bantuan untuk mengambil barang-barang pula ke kelapa gading. Saya mengangkat barang-barang yang akan disumbangkan dari sanggar akar terhadap korban gempa yang ada di padang. Kemudian setelah mengambil barang tersebut saya kembali ke sanggar akar lagi, dan disana saya bertemu dengan aji, kemudian saya membantu ajai untuk beres-beres ruang sekertariat sampai sore hari, setelah itu saya dan aji langsung mandi dan melihat latihan pementasan untuk festivel kampong tersebut. Latihan tersebut sampai malam hari, kemudian saya dan aji pergi ke salah satu halte terdekat untuk melihat-lihat pemandangan malam kota Jakarta didaerah pinggiran tersebut, disana saya melihat terjadi kecelakaan dan ketika saya melihat kecelakaan tersebut, beberapa anak sanggar akar tersebut yang ingin membeli makanan di warkop dekat dengan halte tersebut, akhirnya saya, dan aji mengobrol dengan anak-anak itu sampai jam 2 pagi, kemudian saya dan aji bergegas tidur.
Keesokan harinya atau di hari ketiga saya dan aji bangun pukul 06.35 WIB, terus kami membantu masak, terus kami makan pagi, selanjutnya kami berdua pergi ke penas dengan tujuan ingin mengajar anak-anak disana, akan teteapi disana sangat sepi sekali, tidak ada anak-anak kecil satupun di Taman Baca Anak yang disediakan oleh sanggar akar tersebut. Putus harapan kami, akan tetapi kami langsung berfikir untuk pergi kekampung melayu bertemu dengan hasan dan mengajar bersama, lagi-lagi kami dilarang untuk pergi kesana. Pak susilo berkata kepada kami bahwa tidak perlu kami jauh-jauh pergi ke kampong melayu tersebut, akan tetapi jika kami aktiv dan mau membaur maka kami juga akan menemukan pengalaman berharga dari banyak anak di sanggar akar tersebut. Kemudian kami berdua melihat-lihat kelas sablon disana, banyak hal baru yang saya dapati disana terutama cara untuk menyablon tersebut.
Kemudian setelah itu siang harinya saya bersama dengan aji pergi untuk berjalan-jalan sambil melihat-lihat daerah sekitar kembali, kami membeli es kelapa dan bkwan malang samapai sore hari. Ketika sore hari saya dan aji diajak untuk memasak, saya diajarkan cara memotong bawang, mengulek sambal, dan mencampur adonan tepung. Akan tetapi adonan yang saya buat salah, yang seharusnya mencampur tepung terigu dengan air biasa, akan tetapi saya mencampurkannya dengan air panas. Akhirnya adonan itu tidak bisa dimasak dan dimakan. Swetelah itu kamipun makan. Pada malam harinya pukul 20.00 hasan tiba disanggar akar tersebut dari lve-in sosialnya dikampung melayu. Kemudian kami bertiga pergi keluar untuk mencari makan malam, karena hasan belum makan sampai pada jam 1 pagi, kemudian kami bertiga tidur.
Hri terakhir, atau hari keempat saya bangun pukul 06.00, kemudian saya membantu masak dan kami bersama-sama sarapan pagi. Setelah itu kami satu persatu mulai mandi dan beres-bers untuk siap-siap pulang, dan akhirnya pada pukul 09.30 WIB kami bertiga pulang dari sanggar akar tersebut dan sampai kembali ke seminari menengah wacana bhakti ini pada pukul 12.30 WIB.
Dalam live-in tersebut saya merasa bahwa pandangan saya terhadap anak jalanan itu ternyata selama ini salah, biasanya saya melihat bahwa anak jalanan itu brutal, begajulan, dsb. Akan tetapi setelah saya live-in di sanggar akar ini tempat penampungan anak-anak jalanan saya merasa bahwa ternyata anak-anak jalanan yang saya pandang buruk selama ini ternyata memiliki jiwa seni yang kuat dan sangat kreative. Selama saya live-in disana saya merasa ditengah-tengah kota metropolitan ini dimana banyak gedung-gedung yang berbaris seperti perbukitan akan tetapi masih ada orang yang dapat membuka hatinya untuk memberikan pendidikan bagi orang-orang yang kurang mampu.
Kami satu angkatan diberikan live-in sosial dengan tujuan agar para seminaris dapat terjun langsung dalam dunia perjalanan. Kerasnya hidup terkadang menuntut orang untuk selalu berbuat jahat dan bahkan menyimpang dari aturan ataupun norma yang sudah ada. Didalam sanggar akar saya menemukan banyak orang yang mungkin sudah tidak punya ataupun tidak mengetahui keluarganya akan tetapi memiliki talenta yang cukup besar terutama di bidang seni dan musik. Itulah yang saya rasakan ketika live-in sosial yang diberikan dari pihak seminari Wacana Bhakti.
No comments:
Post a Comment